Sabtu, 29 Oktober 2011

Punjungan bin Rantangan alias Tonjokan atawa Undangan Kelas Berat..

Aku masih di beranda rumah saat satu motor berhenti di depan rumahku. Turunlah seorang wanita yang sepertinya kukenal (mungkin dulu adik kelasku waktu SD). Sambil tersenyum menanyakan apakah Ibuku ada dan mengulurkan tangannya menyampaikan sebungkus plastik berisi kotak. Dia mengatakan bahwa itu adalah punjungan dari Ibu ABC yang mengadakan hajatan pernikahan anaknya. Setelah kuterima dan mengucapkan terima kasih, dia pun pergi dengan pemboncengnya yang masih memegangi beberapa bungkusan lain yang sepertinya akan diantarkan ke alamat lainnya. Ah.. semoga bukan tempat Ayu Ting Ting karena gak akan nyampai sebab alamatnya palsu.. hehehehe..

Yap.. itulah punjungan yang juga kukenal sebagai tonjokan atau rantangan dan lebih tepatnya adalah undangan kelas berat. Kenapa? karena biasanya yang mendapatkan bingkisan ini harus dan wajib datang ke hajatan atau syukuran yang diadakan pengundang. Mau tahu lagi kenapa? sudah dicatat pastinya oleh si empunya hajat, ntar kan tinggal nyocokin ame nama-nama di kotak amplop. Kalau gak datang? idih.. ketahuan looh.. Ini adalah tradisi yang turun menurun di daerahku. Bentuknya bisa berupa nasi kotak, sepaket rantang berisi nasi, sayur, dan lauk pauk, atau satu ceting (tempat nasi) dari plastik yang berisi makanan dengan paket yang relatif sama. Hemh.. ada gak di daerah kalian? kalau ada.. apa namanya?


http://www.cateringjakarta.net

Kamis, 06 Oktober 2011

GLIDIK...

Pernahkah sahabat mengetahui istilah GLIDIK? kalau ditambah awalan 'ng' di depannya maka akan jadi istilah bagi anak yang nakal (dalam bahasa Jawa). Tapi GLIDIK adalah satu istilah populer di kawasan seputar Jogja yang berarti bekerja di luar kampung. Walau beragam profesinya mulai dari buruh tani, buruh panen, tetapi lazimnya istilah ini dipergunakan untuk tukang bangunan. Di sini seseorang akan melewatkan seminggu atau lebih waktunya untuk berpisah dengan keluarga tercinta demi mencari penghasilan di luar kampungnya.


Istilah ini pertama kali kukenal saat melaksanakan tugas Kuliah Kerja Nyata di dukuh Gambir Sawit atau Pangkah, Lemah Bang, di kawasan Prambanan. Dalam keseharian, dukuh yang kami tempati akan kehilangan para pemuda dan beberapa kepala keluarga karena pergi ke kota Jogja untuk melaksanakan borongan proyek perumahan, jembatan, atau jalan. Nach.. di malam Minggu biasanya mereka akan berkumpul lagi dengan keluarga, sambil membawa uang tentunya, dan sejenak melepas rindu dengan famili tercinta. Namun acapkali mereka bisa berminggu-minggu di kota dan pulang dengan tangan hampa karena bayaran yang tertunda.

Glidik bagiku mengungkap suatu makna bahwa harus ada yang dikorbankan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Kehangatan keluarga sehari-hari, belai sayang Ayah pada anak dan istri tercinta, serta kepercayaan yang tinggi kepada pasangan hidup bahwa tak ada yang 'berubah' selama aktivitas glidik dilakukan. Begitupun dengan sebagian kita yang merantau untuk mengadu nasib. Dengan semangat glidik yang tinggi, mari kita buktikan bahwa kita bisa mencapai apa yang kita inginkan. Tak perlu melihat ke belakang atau takut akan besarnya pengorbanan yang kita keluarkan, tetapi fokus kepada sesuatu yang kita tuju tanpa hilang arang dan tenggelam dalam godaan. Semangat glidik kawan..